27 September 2008

ARTIKEL PERTANIAN (THL-TBPP BJB)

Mengembangkan Penyuluhan Pertanian Partisipatif

Oleh :

Fahrul Zani, SST

Penyuluhan pertanian telah memainkan peran penting dalam peningkatan produksi pertanian di Indonesia selama tahun 1970-an sampai tahun 1980-an. BIMAS, misalnya, mencapai kesuksesannya dengan revolusi hijau yaitu sebuah program irigasi persawahan. Praktek yang digunakan pada penyuluhan pertanian pada waktu itu adalah sistem latihan dan kunjungan yang berdasarkan pada model alih teknologi (Transfer of Technology/ToT). Sistem latih dan kunjung ini terbukti sukses dalam mencapai tujuan jangka pendek dari pemerintah yang terpusat. Khususnya pada masyarakat yang hirarkis dengan struktur demokrasi yang lemah, sebagaimana keadaan Indonesia selama Orde Baru, sistem latihan dan kunjungan dapat menjadi alat yang berguna dalam melaksanakan program pembangunan pertanian yang dirancang secara terpusat.

Namun begitu, sistem tersebut, karena didasarkan pada prinsip 'menetes ke bawah' (trickle down), dalam prakteknya menemui kegagalan. Kelemahan sistem ini terungkap selama tahun 1980-an di mana areal yang cocok untuk produksi padi mulai berkurang. Banyak langkah yang ditempuh, namun tidak menjadikan sebuah proses berkelanjutan. Teknologi yang dikembangkan oleh pusat-pusat penelitian diberikan kepada kontak tani andalan melalui para Penyuluh Pertanian dengan asumsi bahwa petani lain akan mengambil alih teknologi tersebut ketika mereka melihat bukti keberhasilannya. Namun banyak dari teknologi baru tersebut ternyata tidak sesuai dengan kondisi lokal, khususnya pada petani-petani yang miskin sumber daya. Ketika diadopsi oleh kontak tani, proses trickle down ini tidak berfungsi dan kesenjangan dengan petani yang miskin sumber daya malah menjadi semakin tinggi.

Masyarakat lokal tidak memiliki pengaruh atau kontrol tehadap program penelitian dan penyuluhan, dan teknologi yang tidak tepat sering dipromosikan oleh badan-badan penyuluhan pertanian. Penyuluhan pertanian juga tidak mengakomodasi kebutuhan petani, dan tidak dapat mengantisipasi keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia, secara agro-ekologis, sosial ekonomi, dan budaya. Penyuluhan pertanian juga tidak memperhatikan pengetahuan lokal masyarakat dan tidak merangsang masyarakat untuk menjadi inovatif dan kreatif.

Selain ketidaksesuaiannya, penyuluhan pertanian dulunya menjadi alat pendukung 'paket pemasukan pertanian' yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini menciptakan ketergantungan petani terhadap lembaga kredit serta lembaga lain yang sebagian besar adalah milik pemerintah. Penyuluhan pertanian selama ini berdasarkan proyek dan bukan aktifitas rutin atau pelayanan. Berdasarkan keadaan di atas, kebutuhan terhadap pendekatan pelayanan yang spesifik lokasi, berpusat pada masyarakat, dan partisipatif mulai muncul.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah Indonesia mulai berfokus pada pemberian pelayanan penyuluhan pertanian yang terdesentralisasi untuk lebih memenuhi kebutuhan petani dan mengakomodasikan perbedaan-perbedaan di daerah. Sebuah laporan Bank Dunia pada tahun 1995 mengidentifikasi kelemahan-kelemahan penyuluhan pertanian di Indonesia. Antara lain, kurangnya partisipasi masyarakat, kesalahan penempatan pada fokus penyuluhan, mekanisme dan metodologi penyuluhan yang top-down serta kurangnya koordinasi antara sub-sektor.

Hal ini manghasilkan SK baru pada tahun 1996 (SK No. 54 tahun 1996, 301/Kpts/LP.120/4/96) yang mentransfer aktifitas penyuluhan pertanian dari empat dinas yang berhubungan dengan pertanian (peternakan, perikanan, pertanian dan perkebunan) ke badan lain yang baru dibentuk yaitu Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP) pada tingkat Kabupaten. Surat Keputusan tersebut menjelaskan penyuluhan pertanian sebagai 'sebuah bentuk pendidikan non formal untuk petani dan keluarganya untuk mengembangkan dinamika dan kapasitasnya dalam rangka peningkatan taraf hidup mereka dan peran mereka sebagai pelaku dan pengontrol pembangunan pertanian'.

Definisi ini mengimplikasikan adanya sebuah perubahan besar pada fokus, metodologi dan peran penyuluhan pertanian. Namun tuntunan dan dukungan praktis terhadap BIPP tidak diberikan, maka kebanyakan dari penyuluhan pertanian bekerja kembali seperti semula.

Pendekatan partisipatif pada penyuluhan pertanian telah dikembangkan dan dilaksanakan oleh banyak LSM sejak tahun 1980-an, walaupun pelaksanaannya hanya terbatas pada skala kecil. Namun pendekatan baru tersebut terbukti sukses dan beberapa program pemerintah mulai mengadopsinya selama tahun 1990-an. Proyek yang didukung FAO "Integrated Pest Management Farmer Field Schools Project" misalnya mencapai kesuksesan dalam upayanya untuk mengurangi penggunaan pestisida dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pengetahuan dan pengalaman petani merupakan tiang utama pendekatan proyek tersebut.

Berdasarkan UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang desentralisasi di Indonesia, Departemen Pertanian dalam 'Paradigma Penyuluhan Pertanian Abad ke-21' (1999) mencita-citakan penyuluhan pertanian yang berfokus pada 'pemberdayaan masyarakat pedesaan' dari pada alih teknologi. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah ciri dari desentralisasi dan dapat memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan dan dalam sistem perencanaan bottom-up.

Empat tiang utama dari paradigma tersebut adalah:

  1. Reorientasi Penyuluhan Pertanian: dari orientasi top-down ke sistem perencanaan bottom-up; dari orientasi target komoditas ke orientasi menyeluruh dan spesifik lokasi, serta dari petani sebagai objek ke petani sebagai subyek pembangunan pertanian.

  2. Reposisi Penyuluh: dari perannya sebagai saluran teknologi baru ke fungsi sebagai fasilitator proses partisipatif dan sebagai konsultan pada tingkat masyarakat.

  3. Reorganisasi Balai Penyuluhan Pertanian: ke arah otonomi, professional dan berorientasi klien

  4. Revitalisasi Kepemimpinan Petani: untuk meningkatkan peran petani sebagai ahli dan professional, serta untuk meningkatkan kapasitas petani untuk mengembangkan kerjasama strategis dengan instansi yang terkait dan sektor swasta. Juga untuk meningkatkan kapasitas petani sebagai manajer proses pembelajaran dan penyuluhan.

Konteks perubahan yang dipaparkan di atas memberikan peluang yang besar untuk meningkatkan pelayanan penyuluhan pertanian. Beberapa organisasi dan proyek telah mencoba untuk mengakomodasi peluang tersebut dengan tindak nyata. Beberapa proyek yang mencoba untuk meningkatkan kapasitas badan pemerintah untuk melaksanakan pendekatan partisipatif, mereka antara lain KUF/GTZ, DAFEP (WB), dan DELIVERI (Pemerintah Indonesia dan Inggris).Di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara, BIPP bekerjasama dengan Program DELIVERI selama tiga tahun membuktikan bahwa penyuluhan pertanian yang berorientasi klien dan partisipatif dapat berhasil dilaksanakan oleh badan pemerintah. Program ini tidak hanya berfokus pada metode penyuluhan partisipatif, tetapi juga pada adopsi dan adaptasi sistem manajemen baru tersebut ke dalam badan pelaksana. Selama kerjasama tiga tahun pelatihan, lokakarya dan rapat intensif diadakan.

Namun faktor penentu perubahan adalah bagaimana mencobakan konsep baru dan mengeksplorasi gagasan-gagasan baru di lapangan dan di tingkat lembaga, serta memulai sebuah proses belajar dan peningkatan yang terus berlangsung berdasarkan pengalaman. Proses tersebut dimulai di dua kecamatan dan secara bertahap dikembangkan menjadi empat kecamatan setelah satu tahun, dan delapan kecamatan setelah tiga tahun (ini mencakup 40% dari seluruh wilayah kabupaten).

Melalui proses yang iteratif (proses yang berjalan mengikuti proses sebelumnya) ini, BIPP Bolaang Mongondow mengembangkan model penyuluhan pertanian partisipatif sendiri, berdasarkan pengalamannya sendiri dan terus melakukan peningkatan. Pengalaman yang berbeda mengarahkan terciptanya pendekatan yang berbeda di antara kecamatan. Keragaman pun telah diterima sebagai sebuah peluang untuk saling belajar.

Buku panduan ini memberikan informasi tentang pengenalan dan pelembagaan penyuluhan pertanian partisipatif. Panduan ini disusun berdasarkan pengalaman kerjasama BIPP Bolaang Mongondow dengan program DELIVERI dan dari proyek-proyek lain.

Kantor BPP

1. BPP LANDASAN ULIN
2. BPP CEMPAKA
3. BPP BANJARBARU

Pertemuan Rutin Bulanan THL-TBPP




Bertempat di BPP Cempaka Yang dihadiri oleh :
Kasie Penyuluhan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Banjarbaru,
Kepala BPP Cempaka, Penyuluh PNS dan THL-TB PP.

Penyuluh WKBPP Wilayah Pemekaran

1. Eddy Sugianto
THL-TBPP Kelurahan Landasan Ulin Barat
2. Fahrul Zani, SST
THL-TBPP Kelurahan Landasan Ulin Selatan

9 INDIKATOR

ARTIKEL PERTANIAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN

Oleh :

THL-TB Penyuluh Pertanian Kota Banjarbaru


Pendahuluan

Pertanian pada hakekatnya merupakan usaha yang sangat bergantung pada alam. Meski terkadang dapat direkayasa dengan teknologi namun sebagian besar akan masih menjadi ganjalan utama pada pengembangan pertanian kita sehingga iklim & lahan merupakan komponen utama yang mempengaruhi keberhasilan usaha tani. Oleh karena itu maka dalam berusaha tani petani haruslah melakukan upaya demi kelestarian alam agar usaha taninya berhasil dan berkelanjutan.

Agar kualitas dan produktivitas sumber daya alam dapat terpelihara sehingga mampu menjamin pengembangan pertanian yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang, maka usaha pertanian yang dikembangkan harus mengakomodir aspek kelestarian lingkungan dalam seluruh rangkaian kegiatannya bentuk dari akomodasi itu adalah melakukan usaha tani yang ramah lingkungan dan juga memperhatikan korbanan lahan sehingga masukan pada lahan juga diusahakan sebanding dengan korbanannya.

Sistem usaha tani juga memperhatikan keseimbangan lingkungan ini biasanya disebut sebagai pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan pada hakekatnya yaitu back to nature, yakni suatu sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah,serasi, selaras & seimbang dengan lingkungan/ pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah – kaidah alamiah. Selain itu berkelanjutan juga dapat diartikan sebagai “menjaga agar suatu upaya terus berlangsung”, sehingga dengan sistem pertanian berkelanjutan diharapkan pertanian kita mampu berdaya saing, bekerakyatan, berkelanjutan dan desentralistik.

Pupuk Buatan Hanya Sebagai Suplemen

Seperti yang kita ketahui bersama pupuk terdiri dari dua macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik atau yang biasa kita sebut dengan pupuk buatan. Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari alam, misalnya : pupuk hijau, pupuk kandang, kompos dan sebagainya. Sedangkan pupuk buatan adalah pupuk yang terbuat dari pabrik yang sudah ditentukan kandungan-kandungan unsur yang terkandung didalamnya, misalnya urea mengandung unsur (N), TSP / SP-36 yang mengandung unsur P dan KCL yang mengandung unsur K. Pupuk N,P, dan K tersebut merupakan pupuk makro yang dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak oleh tanaman, sedangkan pupuk mikronya seperti Ca, Mg, Fe, Mn, Bo, dll, dibutuhkan dalam jumlah yang relatif sedikit.

Dalam pemberian pupuk buatan sebaiknya diberikan hanya sebagai suplemen atau unsur hara tambahan dalam jumlah yang berimbang yang diberikan kepada tanaman untuk memenuhi kebutuhan suplemen bagi tanaman yang diberikan dengan tepat, baik tepat cara, waktu, jenis, dan tepat dosis, sehingga diharapkan nantinya tanaman dapat tumbuh baik dan berproduksi secara optimal yang sesuai dengan yang kita harapkan.

Pemberian pupuk buatan sebaiknya bahkan seharusnya di imbangi dengan pemberian pupuk organik sehingga diharapkan produktiviatas lahan dapat bertahan lama dan dapat berkelanjutan. Pemberian pupuk buatan yang berlebihan tanpa diimbangi pemberian pupuk organik baik pupuk hijau daun, pupuk kandang, kompos, bokasi, dll, akan menyebabkan produktivitas lahan menurun seperti pemadatan tanah, tanah miskin hara, mikroorganisme tanah sedikit, dsb.

Cara Menjaga Kesuburan Tanah

Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Selain sebagai media tumbuh tanaman, tanah juga berfungsi untuk tempat penyedia unsur hara yang dapat menjadi makanan bagi tanaman. Tanah yang subur adalah tanah yang banyak mengandung unsur hara, sebaliknya apabila tanah tidak subur maka tanah tersebut kurang mengandung usaur hara bagi tanaman. Mengingat akan pentingnya unsur hara bagi tanaman, maka kiranya perlu untuk menjaga kesuburan tanah antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Dalam melakukan usaha tani, haruslah menerapkan kaidah – kaidah konservasi, misalnya : membuat teras siring pada tanah – tanah lereng agar tanah permukaan yang banyak mengandung bahan organik tidak banyak yang larut sewaktu hujan,

  2. Mengurangi penggunaan input – input luar seperti pupuk anorganik, pestisida, dll. Karena dengan penggunaan input luar yang terus menerus dapat menyebabkan produktivitas lahan semakin menurun akibat residu bahan kimianya.

Upaya Untuk Mempertahankan Bahan Organik Dalam Tanah

Bahan Organik merupakan komponen yang penting dalam tanah, karena selain dapat berfungsi sebagai penyedia unsur hara, bahan organik juga dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah agar menjadi lebih baik. Semakin banyak bahan organik yang dikandung oleh tanah maka semakin subur tanah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mempertahankan jumlah bahan organik diantaranya melalui :

  1. Pengembalian sisa tanaman/ limbah tanaman setelah panen, agar terjadi keseimbangan antara yang dikelurkan dengan yang dikembalikan.

  2. Memanfaatkan limbah ternak (kotoran ternak) untuk digunakan sebagai pupuk

  3. Menanam/ memberi tanaman penutup tanah, agar sewaktu hujan turun tidak terjadi pukulan langsung terhadap tanah, karena dengan adanya pukulan air hujan secara langsung dapat mengurangi B.O. ditanah karean B.O. dapat mengalir bersama aliran permukaan.

  4. Mengolah tanah sesuai dengan kebutuhan serta dalam dalam mengolah tanah tetap mempertahankan kaidah konservasi.

  5. Mengistirahatkan tanah (diberokan)

Penyebab Terjadinya Peledakan Hama Penyakit

Dalam berusaha tani selain faktor tanah, serangan hama dan penyakit juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan usaha. Karena meskipun tanahnya baik, tetapi apabila terjadi peledakan hama penyakit adalah sebagai berikut :

  1. Pemakaian pestisida yang kurang bijaksana, artinya disini pestisida yang digunakan kurang sesuai baik dari segi jumlah, jenis dan cara sehingga hama dan penyakit menjadi resisiten.

  2. Penanaman tidak dilakukan secara sereampak

  3. Adanya tanaman inang bagi hama dan penyakit atau bisa dikatakan kurangnya sanitasi lingkungan.

  4. Berkurangnya musuh alami bagi hama dan penyakit.

  5. Penggunaan satu macam atau satu jenis pestisida secara kontinue sehingga menyebabkan hama dan penyakit menjadi kebal.

  6. Musim atau iklim yang terjadi cocok bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman.

Sistem Tanam Terpadu

Untuk mencapai suatu keberlanjutan, maka suatu usaha tani haruslah memperhatikan keseimbangan lingkungan, diantaranya adalah melalui sistem tanam terpadu. Adapun maksud dari sistem tanam terpadu adalah suatu sistem tanam yang digunakan untuk mengurangi / menekan peledakan hama dan penyakit tanaman. Adapun perwujudan dari sistem tanam terpadu adalah sebagai berikut :

  1. Melakukan penanaman secara serempak,dengan tanam serempak ini diharapkan dapat memutus siklus Hama dan penyakit.

  2. Melaksanakan tanam secara tumpang sari, misalnya : tumpang sari antara tanaman kapas dengan jagung diharapkan dapat mengurangi perkembangan heliotis pada tanaman kapas.

  3. Melakukan rotasi / pergiliran tanaman.

  4. Melaksanakan sanitasi lingkungan untuk menghindari tumbuhnya tanaman inang bagi hama dan penyakit.

Tanaman Yang Bersih dan Sehat

Dalam berusaha tani tentunya diharapkan dapat diperoleh suatu hasil yang optimal, untuk memperoleh hasil yang optimal tersebut selain faktor tanah, faktor tanaman juga sangat berperan. Oleh karena itu dalam berusaha tani haruslah mengusahakan tanaman yang bersih dan sehat. Tanaman yang bersih bisa diartikan bersih dari kandungan bahan-bahan kimia dan sehat bisa diartikan bahwa tanaman tersebut bebas hama dan penyakit dan juga tanaman tersebut mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal meskipun sedikit atau tidak sama sekali menggunakan input luar.




Koordinator THL-TBPP Kota Banjarbaru